Musik

Sabtu, 02 Mei 2015

Keberagaman

Setiap pribadi manusia mempunyai peranan dan posisinya masing-masing, tanpa mempedulikan ras, bangsa, kelompok, dan jenis jender. Bahkan tidak melulu manusia, makhluk tidak berakal pun mempunyai peranannya dalam lingkar kosmik kehidupan, lalat dan nyamuk sekalipun. Hal ini tidak semata dibuktikan oleh hasil penelitian para saintis yang dimulai dari zaman Yunani kuna hingga era kontemporer, namun juga telah dikonfirmasikan oleh Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 26, “Sesungguhnya Allah tidak akan merasa segan untuk menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, bahkan meski binatang yang lebih kecil darinya sekalipun [Inna Allah la yastahyi ay-yadhriba mastalan ma ba’udhah fa ma fauqaha]”
Kembali pada peranan manusia, secara gamblang dan nyata, dalam Alquran surat al-An’am ayat 135, dinyatakan bahwa, “Katakan (Muhammad), berbuatlah sesuai dengan posisi kalian masing-masing. Sebab akupun berperan sebagaimana peranan diriku [Qul I’maluu ‘Ala Makanatikum. Fa Inni ‘Amil] .” Begitu pula yang tercatat dalam surat Hud ayat 93 dan 121, serta az-Zumar ayat 39.
Apatah lagi di dalam Alquran, telah ditegaskan bahwa tujuan dari eksistensi manusia adalah untuk saling berkompetisi, siapakah di antara mereka yang berhasil menjalankan misi sucinya sebagai ‘wakil Tuhan’, pribadi yang paling maksimal mengimitasi segala sifat-sifat Tuhan, dan juga untuk diketahui siapakah di antara mereka yang mempunyai andil dan partisipasi yang terbaik di dalam kehidupan dunia ini, bekerja bersama dengan aneka anasir makhluk lainnya, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mulk ayat 2 berikut ini, “Dialah Zat yang mengadakan mati dan hidup, untuk menguji siapakah di antara kalian yang terbaik perbuatannya [Al-ladzi khalaqa al-Mawta wa al-Haya li yabluakum Ayyukum ahsanu ‘amala]”.
Karena itu, adanya perbedaan posisi dan status sosial, serta jarak yang berbeda atau tidak seimbang antara sekelompok individu dengan kelompok lainnya, dalam bingkai religiositas adalah sebuah kewajiban. Bahkan sebuah keniscayaan dan kemestian. Tanpa itu, maka tidak akan ada pembeda yang unik antara satu individu dengan yang lainnya. Dan lantaran itulah, maka penilaian yang objektif dalam kerangka keseluruhan akan bisa diberikan. Berbeda tentunya, jika tidak ada keragaman dalam kehidupan manusia, yang sebelumnya mengkondisikan adanya perbedaan pada beragam hal. Dalam bahasa umum, hal tersebut sudah menjadi sunnatullah (the natural law).
Oleh karena itu, berbicara tentang kondisi finansial umpamanya, pembagian tiap kelompok individu menjadi kategori orang yang mampu (the have) dengan orang yang tidak punya (the poor) bukan sebuah pertentangan. Namun sejatinya, hanya merupakan sejenis ’pembagian peran’ semata. Jika ada orang mampu, tentu ada orang yang tidak mampu. Bila ada anak-anak, tentu ada orang dewasa. Ada orang bisa, karena ada orang yang tidak bisa. Dan semua individu akan mengalami setiap fasenya, tanpa terkecuali. Dan pada setiap fase atau makam itulah, akan terketahui predikat kelulusan ujian tiap individu. Jika ada seorang individu lulus dalam ujian keberlimpahan harta benda, maka tentu di suatu waktu ia akan diuji serba kekurangan. Dan tidak ada sebuah jaminan apa pun jika pada suatu fase tertentu berhasil, maka pada tingkatan berikutnya ia juga akan tetap berhasil. Atau sebaliknya. Jika ada individu yang diuji dengan serba kekurangan berhasil dalam nilai keberagamaannya, maka sebuah kondisi yang pasti belum akan samanya nilai yang ia dapatkan dalam kondisi serabberlebihan.
Inilah yang secara gamblang disampaikan oleh Allah Swt. dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 155 sebagai berikut, “Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepada kalian berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bisa bersabar. Yaitu, orang-orang yang jika diberi musibah, mereka berkata ’Sesungguhnya kami milik Allah. Dan kepada Allah kami akan kembali [Walanabluwannakum bi sya’i min al-khauf, wa al-ju’, wa naqs min al-amwal, wa al-anfus, wa samarat. Wa basysyir ash-shabirin al-ladzina idza ashabathum mushibah, qaalu inna lillahi wa inna ilaihi rajiun].”
Bahkan lebih jauh dari itu, melewati batas rasionalitas kemanusiaan, berkaitan dengan seorang individu yang tidak punya (miskin) umpamanya, ternyata tetap tidak terlepas dari rancangan Allah, Sang Mahatahu (al-’Aliim), yang demikian sayang dan cinta-Nya kepada para mahluk-Nya. Hal ini misalnya bisa kita cermati dari sebuah hadis qudsi yang disampaikan Rasulullah Saw. dari Tuhannya berikut ini, “Sesungguhnya ada di antara hamba-hamba-Ku yang tidak tepat bagi mereka kecuali kefakiran. Seandainya mereka diberi kelebihan, niscaya akan celaka [Inna min ’ibadii, man la yushlihu illa al-faqr. Fa in a’thaituhu, lahaka].” Jadi, pada ujung segalanya, sikap bersyukur dikala kita diberi kelebihan, dan sikap bersabar dikala kita diberi ujian, merupakan sebaik-baiknya persiapan dan benteng pertahanan.
Wallah a’lam bi ash-Shawwab

Oleh : Pahrurroji M Bukhori
https://pahrurrojimbukhori.wordpress.com/page/3/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar