Musik

Jumat, 23 Januari 2015

Menajamkan Visi, Merumuskan Misi

Setiap tahun jumlah penganggur di Indonesia sebetulnya meningkat. Apa pasal? Sebab, dari lulusan perguruan tinggi, tak semuanya langsung diserap pasar kerja tahun itu juga. Tak semua lulusan juga punya kemampuan berwirausaha dengan baik. Maka itu, boleh disebut, perguruan tinggi gagal menjadi kawah candradimuka untuk mahasiswa siap bertarung merebut pasar tenaga kerja. Tanyakanlah kepada beberapa rekan yang sudah semester terakhir, mau jadi apa mereka usai lulus? Mungkin hanya sedikit yang sudah punya gambaran akan bekerja di mana atau membuka usaha sendiri. Orang boleh saja bilang dunia perguruan tinggi hanya membentuk cara berpikir sehingga tak terlalu bisa menjembatani antara kebutuhan pasar tenaga kerja dengan lulusannya. Tetapi mereka yang berkuliah itu kan mengeluarkan banyak uang. Alangkah sayang jika sekadar untuk memperbaiki cara berpikir mengeluarkan biaya sedemikian banyak. Padahal di satu sisi semua lulusan itu mau bekerja usai lulus. Kalau perlu, sebelum gelar sarjana digenggam, mereka sudah berada pada korporasi tertentu. Lihat pula pada strata di bawahnya: SMA. Berapa banyak siswa SMA yang punya jawaban tegas mau kuliah di jurusan apa usai lulus sekolah. Mungkin dari seratusan anak, hanya ada 1 atau 2 yang sudah punya visi akan melanjutkan pendidikan ke jurusan apa di perguruan tinggi. Ini menandakan, pendidikan kita memang masih miskin dalam pengembangan. Itulah sebabnya banyak di antara kita yang sebetulnya gagal dalam dunia pendidikan secara maknawi. Mungkin kita memperoleh gelar, tetapi kemampuan kita atas gelar tersebut tak mencukupi untuk bertarung merebut pasar tenaga kerja. Yang terjadi malah kita bekerja tidak sesuai benar dengan kualifikasi kesarjanaan kita. Pasar tenaga kerja memang semakin sengit sekarang. Maka itu, dunia pendidikan semestinya juga bisa menjadi solusi atas persoalan itu. Istilahnya, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau bekerja saja susah. Meski demikian, benar bahwa pendidikan itu bisa lebih kepada membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Karakter dan moralitas dipentingkan di sana. Namun, tujuan pendidikan jelas tidak ke arah itu saja. Tujuan pendidikan mesti juga mengarah pada persiapan lulusan di pasar kerja. Tegasnya, mesti ada upaya penyelarasan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Lantas, apa yang mesti dilakukan para pemangku kepentingan dunia edukasi Indonesia? Pertama, tajamkan visi pendidikan. Membuat selaras antara dunia pendidikan dengan dunia kerja mesti dimulai dengan visi. Visi ini serupa dengan jalan atau rel yang akan memandu kendaraan pendidikan ini ke arah yang dituju. Selama ini kita berkutat pada visi pendidikan yang sering berubah dan tidak ajeg. Seolah-olah ada perbedaan mencolok antara dunia pendidikan yang sarat dengan idealisme dan dunia kerja yang penuh pragmatisme. Kita perlu menata ulang visi besar dunia pendidikan kita. Sebab, inilah yang akan menentukan masa depan dunia edukasi Indonesia. Visi yang baik tentu berasal dari pembacaan atas kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pengajaran. Apa yang mau dibentuk dunia edukasi terhadap semua pemangku kepentingan di dalamnya? Karena output pendidikan kita tetap fokus ke pasar kerja, visi pendidikan mesti diarahkan ke sana. Niat menjadikan pendidikan sebagai basis pendidikan moral dan perilaku memang tetap menjadi hal utama. Tetapi mempersiapkan peserta didik ke pasar kerja mesti menjadi utama. Paling tidak di tingkat pendidikan setara SMA dan perguruan tinggi, visinya mesti ada keselarasan. Misalnya membuat visi: menjadikan peserta didik memiliki karakter mulia dan siap memasuki dunia kerja. Visi mestilah senarai yang jelas dan fokus. Tidak perlu berpanjang kata sehingga membuat tujuan akhir menjadi absurd. Cukup dengan menuliskan diksi “karakter mulia” dan “siap memasuki dunia kerja” itu sudah baik. Dengan visi yang jelas, tegas, dan fokus seperti ini, dunia pendidikan bisa menyelaraskan keduanya. Visi akan menjadi arah dari pembangunan dunia pendidikan. Dengan menyelaraskan visi dengan kebutuhan kerja artinya membawa visi itu ke arah yang lebih konkret. Kedua, mengejawantahkan misi Langkah kedua yang wajib dikerjakan ialah mengejawantahkan misi. Visi itu baru sebagai gambaran awal. Ia cita-cita besar yang boleh jadi lama terwujudnya. Nah, untuk mendukung agar visi itu terwujud, kita butuh misi yang lebih praktis. Kalau visinya menyelaraskan antara membentuk karakter bangsa dan menyiapkan sumber daya manusia yang siap bekerja, misinya juga ke arah sana. Misi itu pengejawantahan dari visi tadi. Kalau kita ingin mewujudkan manusia Indonesia yang punya karakter mulia dan siap bekerja, misinya ada pembenahan kurikulum. Maka itu, misi agar dunia pendidikan dan dunia kerja selaras ialah mewujudkan kurikulum yang bisa menjadi panduan membentuk manusia Indonesia berkarakter dan siap bekerja atau membuka usaha mandiri. Tanpa misi membenahi kurikulum, rasa-rasanya akan sama saja arah pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun. Lantas, bagaimana kurikulum yang komprehensif itu? Kurikulum dibangun dengan dasar yang kuat bahwa semua item di dalamnya mesti mengarah pada pembentukan mental dan karakter serta menyiapkan manusia Indonesia memasuki lapangan pekerjaan. Kurikulum harus menegaskan bahwa pengajaran pada sisi praktik mesti diperbanyak ketimbang teori di kelas. Menumbuhkan kemampuan bekerja dan berusaha memang mesti diperbanyak dengan praktik. Tanpa itu, sulit menjadikan lulusan siap bekerja. Hanya mengandalkan teori di bangku kuliah juga sukar mendapat pekerjaan yang diperebutkan banyak pihak. Khusus di bangku kuliah, apa pun jurusan yang diminati mahasiswa, kurikulum mesti menjawab kebutuhan terhadap praktik. Jangan sampai begitu lulus, alumni tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk bekerja atau membuka usaha mandiri. Praktik itu menjadi penting karena di noktah inilah mahasiswa dilatih untuk beradabtasi dengan ranah bekerja. Semakin dini mengenal jenis pekerjaan akan membuat lulusan tidak kaget dengan segala jenis pekerjaan. Satu misi yang tak boleh dilupakan ialah pendidikan setara SMA. Jika ingin kualitas lulusan kita cepat diserap pasar kerja, di tingkat sekolah menengah umum, mesti banyak dibangun sekolah kejuruan. Penulis mendukung penuh langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mulai membatasi munculnya sekolah umum dan mendorong berdirinya sekolah kejujuran. Mengapa demikian? Sebab, dengan memperbanyak sekolah kejuruan, serapan terhadap lulusan SMK akan semakin besar. Ini menjadikan manusia Indonesia sejak dini mampu bekerja. Tentu dengan demikian, niat untuk memperbanyak praktik ketimbang teori akan mudah dilakukan. Sekolah kejuruan memang menempatkan praktik sebagai ujung tombaknya. Para siswa akan langsung berlatih sesuai dengan kompetensinya. Misalnya kemampuan ekonomi, komputer, multimedia, kriya kayu, otomotif, industri mesin, tekstil, sampai dengan pertanian, kehutanan, kelautan, dan sebagainya. Sekolah dengan model kejuruan memang lebih memungkinkan masyarakat mendapatkan sesuatu yang lebih. Ini bermanfaat agar tingkat pengangguran di Indonesia tidak bertambah banyak. Satu poin dalam kurikulum sekolah kejuruan ialah memberikan basis manajemen kepada siswa. Maksudnya ialah, selain dibekali keterampilan teknis, lulusan juga mampu berwirausaha. Sehingga kemampuan teknisnya ditunjang dengan manajerial yang bagus. Jadi, tak sekadar bekerja sebagai tenaga ahli di suatu bidang, tetapi punya kemampuan membuka usaha sendiri. Misalnya lulusan sekolah kejuruan berbasis multimedia. Tidak sekadar bekerja pada perusahaan tertentu, tetapi sedikit demi sedikit mampu membuka usaha sendiri. Dengan basis manajemen yang diberikan SMK, lulusan akan terbantu dari segi manajemen. Penyelarasan ini penting agar siswa memiliki basis kompetensi yang memadai. Ketiga, mendetailkan program Jalan sukses menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja juga ada pada pelaksanaan program di lapangan. Maknanya ialah perlu ada langkah spesifik di ruang kelas dan ruang praktik agar lulusan mampu bekerja dengan baik. Misalnya program magang. Selama ini pemagangan ini kurang diperhatikan dan kurang dievaluasi dengan baik oleh sekolah atau kampus. Adakalanya siswa sekolah kejuruan komputer malah menjalani masa magang dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan basis ilmunya. Paling banter disuruh memfotokopi berkas. Ke depan, semua lini yang menjadi objek magang mesti diperhatikan dengan serius. Dalam ranah kampus, hal serupa juga mesti diperhatikan. Magang mungkin akan lebih berguna ketimbang memperbanyak jam teori di bangku kuliah. Seorang mahasiswa fakultas hukum akan lebih siap bekerja jika sepertiga waktu kuliahnya dihabiskan untuk magang di kantor pengadilan atau ikut pengacara atau kuasa hukum. Ia akan lebih siap terjun menjadi pengacara jika punya pengalaman magang yang memadai. Bentuk idealismenya juga bisa diasah dengan mengadvokasi kelompok masyarakat yang selama ini termarginalkan dari hukum. Kelas buruh dan pramuwisma menjadi dua kelas dalam masyarakat kita yang acap mendapat perlakuan tidak adil. Nah, dengan masa magang yang cukup, dua manfaat sekaligus didapat. Pertama soal jam terbang, kedua soal mengikuti nurani dengan membela masyarakat kecil yang termarginalkan. Seorang mahasiswa pertanian juga demikian. Mengapa hampir tak ada mahasiswa pertanian yang menjadi petani? Sebab, mereka diajar oleh dosen yang bukan petani. Beda dengan mahasiswa kedokteran yang pasti menjadi dokter karena diajar oleh dosen yang juga dokter. Maka itu, masa magang di proyek pembangunan pertanian buat mahasiswa di fakultas pertanian adalah harga mati. Termasuk di beberapa lini pekerjaan yang ada kaitan erat dengan dunia pertanian. Dengan begitu, pola pikir mahasiswa akan fokus pada ilmu yang ia dapat di bangku kuliah. Ini juga berlaku buat mahasiswa di jurusan lain, seperti ekonomi, teknik, MIPA, budaya, dan sebagainya. Pemerintah dan pihak kampus memang perlu membuka akses sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa untuk magang pada sejumlah korporasi. Begitu banyak perusahaan yang ada di Indonesia adalah peluang untuk memperbanyak lini magang mahasiswa. Kalau hanya mengandalkan mahasiswa secara mandiri mencari tempat magang, takkan menyelesaikan masalah. Yang perlu dilakukan adalah dengan membangun nota kesepahaman antara pihak kampus dan perusahaan agar peluang magang makin terbuka. Mendetailkan program juga sama dan sebangun dengan melakukan evaluasi secara terarah. Ini berguna untuk melihat apakah capaian dalam misi dan program ini berhasil atau tidak. Kalau belum berhasil, perlu dicari di mana letak titik lemahnya dan diberi solusinya. Pendidikan kita masih lemah dalam evaluasi sehingga beberapa tahun terakhir hanya menjadikan hasil ujian nasional sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan siswa. Maka itu, ke depan, evaluasi ini penting dilakukan sebagai manifestasi mendetailkan program. Keempat, mendorong peran pemerintah daerah Pemerintah, betapapun banyak dikritik ditujukan kepadanya, tetap punya peran yang besar untuk dunia pendidikan. Apalagi terkait dengan menyelaraskan pendidikan dengan dunia kerja. Pemerintah daerah memang mesti didorong untuk lebih banyak membuka peluang kepada insan terdidik di daerahnya agar mendapat jaminan pekerjaan yang layak. Cara paling gampang ialah dengan memprogramkan sarjana untuk membuka lapangan usaha sendiri. Tentu dananya disiapkan oleh pemerintah daerah. Dana ini sebaiknya bersifat pinjaman tanpa bunga dengan supervisi yang ketat. Taruhlah misalnya ada 1.000 sarjana yang hendak dientaskan pemerintah daerah. Setiap calon penerima dana diharuskan membuat proposal usaha yang terinci sehingga semua item dikuasai dengan baik. Ini merangsang peserta untuk membuka usaha sesuai dengan kapasitas dan potensi masing-masing. Tidak asal bikin, asal ikut, dan mengalokasikan dana pinjaman untuk keperluan konsumtif. Pihak pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan kampus untuk merancang program ini. Paling tidak ini bentuk usaha paling konkret dari aparatur agar calon lulusan perguruan tinggi tidak lama menganggur karena sulit mencari pekerjaan. Yang mesti dilakukan ialah supervisi terhadap semua usaha yang bakal dijalankan itu. Ini penting agar tanggung jawab pemerintah daerah tidak lepas begitu saja. Ini juga bagus untuk memberdayagunakan dinas-dinas yang ada agar terasa manfaatnya di masyarakat. Kelima, memberlakukan mata pelajaran kewirausahaan sejak SMA Untuk tingkat sekolah lanjutan yang sifatnya umum atau SMA, upaya penyelarasan bisa dilakukan dengan memasukkan materi kewirausahaan. Mungkin karena ranahnya sekolah umum, poin paling mendasar ialah membangun kesadaran berwirausaha dulu. Ini mengingat titik tekan pengajaran di sekolah umum berbeda dengan sekolah kejuruan. Akan lebih baik mata pelajaran ini khusus, bukan termasuk dalam mata pelajaran ekonomi. Dengan begitu, siswa dari kelas IPA pun bisa mengikutinya. Tidak menutup kemungkinan ada bibit kewirausahaan yang bisa disemai di SMA meski secara keterampilan khusus tak sama dengan siswa SMK. Bagaimanapun juga, dengan jumlah siswa paling banyak, lulusan SMA akan menyumbang paling banyak dalam setiap tahun kelulusan. Jika dari mereka banyak yang memiliki potensi untuk menjadi kelas pengusaha, tentu sangat membahagiakan. Titik tekan kewirausahaan di tingkat SMA akan lebih bagus jika diberikan pada penemuan kapasitas atau potensi terbesar yang mereka miliki. Misalnya ada yang kecenderungannya menjadi ekonom sangat tinggi, diarahkan untuk memasuki jurusan yang sesuai. Atau mereka yang punya perhatian yang besar terhadap sains dan teknologi, diberi pengetahuan memadai soal itu. Meski sekarang zaman internet di mana setiap informasi gampang diunduh, peran sekolah tetap penting. Ini misalnya bisa dilakukan dengan guru bimbingan konseling. Paling tidak, andaipun secara basis keilmuan kewirausahaan tak berhasil ditanamkan, mereka sudah tahu kapasitas masing-masing. Sehingga pilihan mereka atas jurusan yang dipilih saat kuliah sesuai dengan potensi terbesarnya dan bukan ikut-ikutan. * Upaya menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja memang tak gampang. Ia mesti dibangun dengan kesadaran semua pemangku kepentingan. Tapi dengan mengejawantahkan usulan-usulan di atas, barangkali bisa membawa sedikit pencerahan. Kuncinya ada pada kerja keras dan konsistensi pemangku kepentingan di ranah edukasi. Apakah itu akan berhasil atau tidak, sangat bergantung pada operasionalnya di lapangan. Tapi kita berharap suatu waktu model penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja di Indonesia ini bisa terwujud. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar