Setiap tahun jumlah penganggur di Indonesia sebetulnya meningkat. Apa
pasal? Sebab, dari lulusan perguruan tinggi, tak semuanya langsung
diserap pasar kerja tahun itu juga. Tak semua lulusan juga punya
kemampuan berwirausaha dengan baik. Maka itu, boleh disebut, perguruan
tinggi gagal menjadi kawah candradimuka untuk mahasiswa siap bertarung
merebut pasar tenaga kerja. Tanyakanlah kepada beberapa rekan yang sudah
semester terakhir, mau jadi apa mereka usai lulus? Mungkin hanya
sedikit yang sudah punya gambaran akan bekerja di mana atau membuka
usaha sendiri.
Orang boleh saja bilang dunia perguruan tinggi hanya membentuk cara
berpikir sehingga tak terlalu bisa menjembatani antara kebutuhan pasar
tenaga kerja dengan lulusannya. Tetapi mereka yang berkuliah itu kan
mengeluarkan banyak uang. Alangkah sayang jika sekadar untuk memperbaiki
cara berpikir mengeluarkan biaya sedemikian banyak. Padahal di satu
sisi semua lulusan itu mau bekerja usai lulus. Kalau perlu, sebelum
gelar sarjana digenggam, mereka sudah berada pada korporasi tertentu.
Lihat pula pada strata di bawahnya: SMA. Berapa banyak siswa SMA yang
punya jawaban tegas mau kuliah di jurusan apa usai lulus sekolah.
Mungkin dari seratusan anak, hanya ada 1 atau 2 yang sudah punya visi
akan melanjutkan pendidikan ke jurusan apa di perguruan tinggi. Ini
menandakan, pendidikan kita memang masih miskin dalam pengembangan.
Itulah sebabnya banyak di antara kita yang sebetulnya gagal dalam dunia
pendidikan secara maknawi. Mungkin kita memperoleh gelar, tetapi
kemampuan kita atas gelar tersebut tak mencukupi untuk bertarung merebut
pasar tenaga kerja. Yang terjadi malah kita bekerja tidak sesuai benar
dengan kualifikasi kesarjanaan kita.
Pasar tenaga kerja memang semakin sengit sekarang. Maka itu, dunia
pendidikan semestinya juga bisa menjadi solusi atas persoalan itu.
Istilahnya, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau bekerja saja susah.
Meski demikian, benar bahwa pendidikan itu bisa lebih kepada membentuk
manusia Indonesia seutuhnya. Karakter dan moralitas dipentingkan di
sana. Namun, tujuan pendidikan jelas tidak ke arah itu saja.
Tujuan pendidikan mesti juga mengarah pada persiapan lulusan di pasar
kerja. Tegasnya, mesti ada upaya penyelarasan dunia pendidikan dengan
dunia kerja. Lantas, apa yang mesti dilakukan para pemangku kepentingan
dunia edukasi Indonesia?
Pertama, tajamkan visi pendidikan.
Membuat selaras antara dunia pendidikan dengan dunia kerja mesti dimulai
dengan visi. Visi ini serupa dengan jalan atau rel yang akan memandu
kendaraan pendidikan ini ke arah yang dituju. Selama ini kita berkutat
pada visi pendidikan yang sering berubah dan tidak ajeg. Seolah-olah ada
perbedaan mencolok antara dunia pendidikan yang sarat dengan idealisme
dan dunia kerja yang penuh pragmatisme.
Kita perlu menata ulang visi besar dunia pendidikan kita. Sebab, inilah
yang akan menentukan masa depan dunia edukasi Indonesia.
Visi yang baik tentu berasal dari pembacaan atas kebutuhan masyarakat
Indonesia terhadap pengajaran. Apa yang mau dibentuk dunia edukasi
terhadap semua pemangku kepentingan di dalamnya? Karena output
pendidikan kita tetap fokus ke pasar kerja, visi pendidikan mesti
diarahkan ke sana.
Niat menjadikan pendidikan sebagai basis pendidikan moral dan perilaku
memang tetap menjadi hal utama. Tetapi mempersiapkan peserta didik ke
pasar kerja mesti menjadi utama. Paling tidak di tingkat pendidikan
setara SMA dan perguruan tinggi, visinya mesti ada keselarasan. Misalnya
membuat visi: menjadikan peserta didik memiliki karakter mulia dan siap
memasuki dunia kerja.
Visi mestilah senarai yang jelas dan fokus. Tidak perlu berpanjang kata
sehingga membuat tujuan akhir menjadi absurd. Cukup dengan menuliskan
diksi “karakter mulia” dan “siap memasuki dunia kerja” itu sudah baik.
Dengan visi yang jelas, tegas, dan fokus seperti ini, dunia pendidikan
bisa menyelaraskan keduanya. Visi akan menjadi arah dari pembangunan
dunia pendidikan. Dengan menyelaraskan visi dengan kebutuhan kerja
artinya membawa visi itu ke arah yang lebih konkret.
Kedua, mengejawantahkan misi
Langkah kedua yang wajib dikerjakan ialah mengejawantahkan misi. Visi
itu baru sebagai gambaran awal. Ia cita-cita besar yang boleh jadi lama
terwujudnya. Nah, untuk mendukung agar visi itu terwujud, kita butuh
misi yang lebih praktis. Kalau visinya menyelaraskan antara membentuk
karakter bangsa dan menyiapkan sumber daya manusia yang siap bekerja,
misinya juga ke arah sana.
Misi itu pengejawantahan dari visi tadi. Kalau kita ingin mewujudkan
manusia Indonesia yang punya karakter mulia dan siap bekerja, misinya
ada pembenahan kurikulum. Maka itu, misi agar dunia pendidikan dan dunia
kerja selaras ialah mewujudkan kurikulum yang bisa menjadi panduan
membentuk manusia Indonesia berkarakter dan siap bekerja atau membuka
usaha mandiri.
Tanpa misi membenahi kurikulum, rasa-rasanya akan sama saja arah
pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun.
Lantas, bagaimana kurikulum yang komprehensif itu? Kurikulum dibangun
dengan dasar yang kuat bahwa semua item di dalamnya mesti mengarah pada
pembentukan mental dan karakter serta menyiapkan manusia Indonesia
memasuki lapangan pekerjaan.
Kurikulum harus menegaskan bahwa pengajaran pada sisi praktik mesti
diperbanyak ketimbang teori di kelas. Menumbuhkan kemampuan bekerja dan
berusaha memang mesti diperbanyak dengan praktik. Tanpa itu, sulit
menjadikan lulusan siap bekerja. Hanya mengandalkan teori di bangku
kuliah juga sukar mendapat pekerjaan yang diperebutkan banyak pihak.
Khusus di bangku kuliah, apa pun jurusan yang diminati mahasiswa,
kurikulum mesti menjawab kebutuhan terhadap praktik. Jangan sampai
begitu lulus, alumni tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk
bekerja atau membuka usaha mandiri.
Praktik itu menjadi penting karena di noktah inilah mahasiswa dilatih
untuk beradabtasi dengan ranah bekerja. Semakin dini mengenal jenis
pekerjaan akan membuat lulusan tidak kaget dengan segala jenis
pekerjaan.
Satu misi yang tak boleh dilupakan ialah pendidikan setara SMA. Jika
ingin kualitas lulusan kita cepat diserap pasar kerja, di tingkat
sekolah menengah umum, mesti banyak dibangun sekolah kejuruan. Penulis
mendukung penuh langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mulai
membatasi munculnya sekolah umum dan mendorong berdirinya sekolah
kejujuran. Mengapa demikian? Sebab, dengan memperbanyak sekolah
kejuruan, serapan terhadap lulusan SMK akan semakin besar. Ini
menjadikan manusia Indonesia sejak dini mampu bekerja. Tentu dengan
demikian, niat untuk memperbanyak praktik ketimbang teori akan mudah
dilakukan. Sekolah kejuruan memang menempatkan praktik sebagai ujung
tombaknya. Para siswa akan langsung berlatih sesuai dengan
kompetensinya. Misalnya kemampuan ekonomi, komputer, multimedia, kriya
kayu, otomotif, industri mesin, tekstil, sampai dengan pertanian,
kehutanan, kelautan, dan sebagainya.
Sekolah dengan model kejuruan memang lebih memungkinkan masyarakat
mendapatkan sesuatu yang lebih. Ini bermanfaat agar tingkat pengangguran
di Indonesia tidak bertambah banyak. Satu poin dalam kurikulum sekolah
kejuruan ialah memberikan basis manajemen kepada siswa. Maksudnya ialah,
selain dibekali keterampilan teknis, lulusan juga mampu berwirausaha.
Sehingga kemampuan teknisnya ditunjang dengan manajerial yang bagus.
Jadi, tak sekadar bekerja sebagai tenaga ahli di suatu bidang, tetapi
punya kemampuan membuka usaha sendiri.
Misalnya lulusan sekolah kejuruan berbasis multimedia. Tidak sekadar
bekerja pada perusahaan tertentu, tetapi sedikit demi sedikit mampu
membuka usaha sendiri. Dengan basis manajemen yang diberikan SMK,
lulusan akan terbantu dari segi manajemen. Penyelarasan ini penting agar
siswa memiliki basis kompetensi yang memadai.
Ketiga, mendetailkan program
Jalan sukses menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja juga ada
pada pelaksanaan program di lapangan. Maknanya ialah perlu ada langkah
spesifik di ruang kelas dan ruang praktik agar lulusan mampu bekerja
dengan baik. Misalnya program magang. Selama ini pemagangan ini kurang
diperhatikan dan kurang dievaluasi dengan baik oleh sekolah atau kampus.
Adakalanya siswa sekolah kejuruan komputer malah menjalani masa magang
dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan basis ilmunya. Paling banter
disuruh memfotokopi berkas. Ke depan, semua lini yang menjadi objek
magang mesti diperhatikan dengan serius. Dalam ranah kampus, hal serupa
juga mesti diperhatikan. Magang mungkin akan lebih berguna ketimbang
memperbanyak jam teori di bangku kuliah.
Seorang mahasiswa fakultas hukum akan lebih siap bekerja jika sepertiga
waktu kuliahnya dihabiskan untuk magang di kantor pengadilan atau ikut
pengacara atau kuasa hukum. Ia akan lebih siap terjun menjadi pengacara
jika punya pengalaman magang yang memadai. Bentuk idealismenya juga bisa
diasah dengan mengadvokasi kelompok masyarakat yang selama ini
termarginalkan dari hukum. Kelas buruh dan pramuwisma menjadi dua kelas
dalam masyarakat kita yang acap mendapat perlakuan tidak adil. Nah,
dengan masa magang yang cukup, dua manfaat sekaligus didapat. Pertama
soal jam terbang, kedua soal mengikuti nurani dengan membela masyarakat
kecil yang termarginalkan.
Seorang mahasiswa pertanian juga demikian. Mengapa hampir tak ada
mahasiswa pertanian yang menjadi petani? Sebab, mereka diajar oleh dosen
yang bukan petani. Beda dengan mahasiswa kedokteran yang pasti menjadi
dokter karena diajar oleh dosen yang juga dokter. Maka itu, masa magang
di proyek pembangunan pertanian buat mahasiswa di fakultas pertanian
adalah harga mati. Termasuk di beberapa lini pekerjaan yang ada kaitan
erat dengan dunia pertanian. Dengan begitu, pola pikir mahasiswa akan
fokus pada ilmu yang ia dapat di bangku kuliah.
Ini juga berlaku buat mahasiswa di jurusan lain, seperti ekonomi,
teknik, MIPA, budaya, dan sebagainya.
Pemerintah dan pihak kampus memang perlu membuka akses
sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa untuk magang pada sejumlah
korporasi. Begitu banyak perusahaan yang ada di Indonesia adalah peluang
untuk memperbanyak lini magang mahasiswa. Kalau hanya mengandalkan
mahasiswa secara mandiri mencari tempat magang, takkan menyelesaikan
masalah. Yang perlu dilakukan adalah dengan membangun nota kesepahaman
antara pihak kampus dan perusahaan agar peluang magang makin terbuka.
Mendetailkan program juga sama dan sebangun dengan melakukan evaluasi
secara terarah. Ini berguna untuk melihat apakah capaian dalam misi dan
program ini berhasil atau tidak. Kalau belum berhasil, perlu dicari di
mana letak titik lemahnya dan diberi solusinya. Pendidikan kita masih
lemah dalam evaluasi sehingga beberapa tahun terakhir hanya menjadikan
hasil ujian nasional sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan siswa.
Maka itu, ke depan, evaluasi ini penting dilakukan sebagai manifestasi
mendetailkan program.
Keempat, mendorong peran pemerintah daerah
Pemerintah, betapapun banyak dikritik ditujukan kepadanya, tetap punya
peran yang besar untuk dunia pendidikan. Apalagi terkait dengan
menyelaraskan pendidikan dengan dunia kerja. Pemerintah daerah memang
mesti didorong untuk lebih banyak membuka peluang kepada insan terdidik
di daerahnya agar mendapat jaminan pekerjaan yang layak. Cara paling
gampang ialah dengan memprogramkan sarjana untuk membuka lapangan usaha
sendiri. Tentu dananya disiapkan oleh pemerintah daerah. Dana ini
sebaiknya bersifat pinjaman tanpa bunga dengan supervisi yang ketat.
Taruhlah misalnya ada 1.000 sarjana yang hendak dientaskan pemerintah
daerah. Setiap calon penerima dana diharuskan membuat proposal usaha
yang terinci sehingga semua item dikuasai dengan baik. Ini merangsang
peserta untuk membuka usaha sesuai dengan kapasitas dan potensi
masing-masing. Tidak asal bikin, asal ikut, dan mengalokasikan dana
pinjaman untuk keperluan konsumtif. Pihak pemerintah daerah bisa bekerja
sama dengan kampus untuk merancang program ini. Paling tidak ini bentuk
usaha paling konkret dari aparatur agar calon lulusan perguruan tinggi
tidak lama menganggur karena sulit mencari pekerjaan.
Yang mesti dilakukan ialah supervisi terhadap semua usaha yang bakal
dijalankan itu. Ini penting agar tanggung jawab pemerintah daerah tidak
lepas begitu saja. Ini juga bagus untuk memberdayagunakan dinas-dinas
yang ada agar terasa manfaatnya di masyarakat.
Kelima, memberlakukan mata pelajaran kewirausahaan sejak SMA
Untuk tingkat sekolah lanjutan yang sifatnya umum atau SMA, upaya
penyelarasan bisa dilakukan dengan memasukkan materi kewirausahaan.
Mungkin karena ranahnya sekolah umum, poin paling mendasar ialah
membangun kesadaran berwirausaha dulu. Ini mengingat titik tekan
pengajaran di sekolah umum berbeda dengan sekolah kejuruan. Akan lebih
baik mata pelajaran ini khusus, bukan termasuk dalam mata pelajaran
ekonomi. Dengan begitu, siswa dari kelas IPA pun bisa mengikutinya.
Tidak menutup kemungkinan ada bibit kewirausahaan yang bisa disemai di
SMA meski secara keterampilan khusus tak sama dengan siswa SMK.
Bagaimanapun juga, dengan jumlah siswa paling banyak, lulusan SMA akan
menyumbang paling banyak dalam setiap tahun kelulusan. Jika dari mereka
banyak yang memiliki potensi untuk menjadi kelas pengusaha, tentu sangat
membahagiakan. Titik tekan kewirausahaan di tingkat SMA akan lebih
bagus jika diberikan pada penemuan kapasitas atau potensi terbesar yang
mereka miliki. Misalnya ada yang kecenderungannya menjadi ekonom sangat
tinggi, diarahkan untuk memasuki jurusan yang sesuai. Atau mereka yang
punya perhatian yang besar terhadap sains dan teknologi, diberi
pengetahuan memadai soal itu.
Meski sekarang zaman internet di mana setiap informasi gampang diunduh,
peran sekolah tetap penting. Ini misalnya bisa dilakukan dengan guru
bimbingan konseling. Paling tidak, andaipun secara basis keilmuan
kewirausahaan tak berhasil ditanamkan, mereka sudah tahu kapasitas
masing-masing. Sehingga pilihan mereka atas jurusan yang dipilih saat
kuliah sesuai dengan potensi terbesarnya dan bukan ikut-ikutan.
*
Upaya menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja memang tak gampang.
Ia mesti dibangun dengan kesadaran semua pemangku kepentingan. Tapi
dengan mengejawantahkan usulan-usulan di atas, barangkali bisa membawa
sedikit pencerahan. Kuncinya ada pada kerja keras dan konsistensi
pemangku kepentingan di ranah edukasi. Apakah itu akan berhasil atau
tidak, sangat bergantung pada operasionalnya di lapangan. Tapi kita
berharap suatu waktu model penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja
di Indonesia ini bisa terwujud. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar