Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Shahabat Nabi
Persatuan umat adalah kondisi yang banyak diimpikan para aktivis dakwah.
Berbagai konsep mereka tawarkan agar persatuan umat ini bisa terwujud.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, kondisi umat semakin
terkotak-kotak dan saling berselisih. Penyebabnya adalah
karena mereka menawarkan konsep persatuan yang tidak bersumber dari
orang-orang yang paling paham terhadap agama ini dan yang paling baik
amalannya, yaitu para shahabat Nabi r.
Persatuan merupakan satu landasan penting untuk membangun kehidupan yang
istiqamah di atas jalan Allah I. Tapi sungguh sayang, kalimat benar dan
mulia ini banyak dipergunakan secara keliru oleh berbagai gerakan
(firqah/ kelompok) yang dilandasi oleh berbagai
ambisi dan hawa nafsu. Mereka menggunakan kalimat tersebut untuk
bersembunyi di balik nama perjuangan Islam, namun hakikat tujuan mereka
yang sebenarnya adalah untuk meraup keuntungan duniawi. Yang lebih
tragis, ulah mereka ini banyak menimbulkan perpecahan
kaum muslimin di mana-mana.
Seruan persatuan atas nama Islam namun didasari oleh kebatilan sudah
berlangsung sejak dulu. Di masa Rasulullah r, orang-orang musyrikin
jahiliyah pernah menawarkan kepada beliau ajaran sinkretisme, yaitu
persatuan dalam praktek ibadah antara kaum musyrikin
dengan kaum muslimin. (Sirah Ibnu Hisyam, 1/334)
Di Mesir, muncul gerakan persatuan agama samawi, sebagaimana yang
diserukan oleh Hasan Al-Banna. (Da’watul Ikhwan fil Mizan hal. 156).
Para politikus dari kalangan Ikhwanul Muslimin menjadikan kalimat
persatuan sebagai pilar untuk menyatukan berbagai elemen
yang ada di tubuh kaum muslimin, yang mereka gunakan sebagai batu
loncatan untuk meraih kekuasaan.
Berlandaskan “ikramul muslim”, kelompok Jamaah Tabligh membangun
persaudaraan dengan berbagai firqah dan gerakan sebagai sarana untuk
menebarkan “kebodohan.” (Jama’ah Tabligh Ta’rifuha ‘Aqaiduha hal. 402)
Firqah Sururiyah dengan syubhat “inshaf” (prinsip yang mengharuskan
menyebut kebaikan seseorang yang dikritik karena melakukan penyimpangan
dalam agama. Prinsip ini merupakan kaidah yang baru/ bid’ah), menebarkan
faham yang melumpuhkan al-wala` wal bara`. (Manhaju
Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal hal. 55)
Di tahun 1965 muncul fatwa dari sebagaian “ulama” di Indonesia yang
membolehkan kaum muslimin membangun kerjasama dengan kaum
komunis/Nasakom. (Membahas Khilafiyah hal. 157)
JIL (Jaringan Islam Liberal) yang digembongi Ulil Abshar meracuni kaum
Muslimin dengan label persatuan agama samawi. (Majalah Asy-Syari’ah
edisi 10 hal. 22)
Semua bentuk persatuan di atas merupakan kepanjangan tangan dari gerakan
teologi pluralis yang selalu ditawarkan musuh-musuh Allah kepada umat
Islam sebagai pisau bunuh diri dalam setiap masa. Sejenak mari kita
simak uraian berikut ini.
Perpecahan yang mengerikan telah menimpa umat yang terdahulu sehingga
mereka mendapatkan kehancuran. Allah I berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan
berselisih setelah datang keterangan kepada mereka dan bagi mereka adzab
yang besar.” (Al-Imran: 105)
Ibnu Katsir t berkata (menafsirkan ayat di atas): “Allah tabaaraka wa
ta’ala melarang umat ini untuk menyerupai umat terdahulu dalam
perpecahan dan perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/390)
Perpecahan merupakan sarana bagi setan untuk membelenggu kaum muslimin
agar selalu tercabik-cabik dalam permusuhan dan perpecahan, sehingga
dalam banyak ayat Allah I melarang kaum muslimin untuk berpecah belah.
Di antaranya dalam ayat berikut, yang artinya:
“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Ali ‘Imran: 103)
Ibnu Katsir t berkata: “Telah diperintahkan kepada mereka (kaum
muslimin) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/389)
Abu Ja’far At-Thabari t berkata: “Yang dimaksud oleh Allah I dari ayat
tersebut adalah: Berpeganglah kalian dengan agama Allah I yang telah Dia
perintahkan kepada kalian, dan dengan janji-Nya yang telah diambil atas
kalian di dalam Kitab-Nya, yaitu berkumpul
di atas kalimat yang benar dan berserah kepada kalimat Allah I.” (Tafsir
Ath-Thabari, 3/378)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka.” (Al-An’am: 159)
Ibnu Katsir t menjelaskan bahwa Rasulullah r tidak bertanggung jawab
(berlepas diri) dari semua yang memisahkan dari agama Allah I atau yang
menyelisihinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/200)
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan apa yang telah di
wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:
tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Ibnu Katsir t berkata: “Allah telah mewasiatkan kepada seluruh nabi
‘alaihish shalatu was salam untuk bersatu dan berjamaah serta melarang
mereka dari perpecahan dan ikhtilaf.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/109)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Janganlah kalian berpecah belah dalam
perkara tauhid, dalam keimanan kepada Allah, ketaatan kepada Rasul-Nya,
dan dalam menerima risalahnya.” (Fathul Qadir, 4/694)
“Janganlah kalian menjadi golongan orang-orang musyrik yaitu dari
orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi berpartai-partai dan
masing-masing partai merasa bangga dengan yang ada pada mereka.”
(Ar-Rum: 31-32)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Di sini ada peringatan bagi
kaum muslimin dari perselisihan, perpecahan sehingga berkubu-kubu,
setiap golongan fanatik dengan apa yang dimiliki baik yang haq dan
batil, sehingga dengannya mereka menyerupai orang-orang
musyrik dalam berpecah belah. Ingat, agama adalah satu, Rasul yang satu,
dan sesembahan yang satu.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil
Mannan hal. 590)
Ibnul Qayyim t berkata: “Termasuk seruan jahiliyah adalah menyeru untuk
fanatik kepada kesukuan atau fanatisme kepada tokoh tertentu. Termasuk
juga fanatisme dengan madzhab, partai-partai, masyayikh, atau
mendahulukan hawa nafsu dan kesukuan dalam pembelaan
terhadap segolongan orang bahkan menisbatkan diri kepadanya serta
menyeru kepadanya (nafsu dan kesukuan). Demikian pula saat dia
memberikan loyalitas atau permusuhan dan mengukur manusia dengannya. Ini
semua merupakan seruan jahiliyah.” (Taisirul ‘Azizil Hamid
hal. 350)
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan umat yang satu tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang
dirahmati Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Allah mengabarkan, jikalau
Dia menghendaki niscaya seluruh manusia akan dijadikan satu dalam
keutuhan agama Islam karena kehendak-Nya tidak terbatasi dan tidak ada
sesuatu apapun yang bisa menghalangi-Nya. Tetapi
tetap dengan hikmah-Nya mereka (manusia) berselisih, menyelisihi jalan
yang lurus, dan mengikuti jalan-jalan yang menjerumuskan ke an-naar
(neraka). Masing-masing dari mereka menyatakan: ‘Kami berkata yang benar
dan yang lainnya salah.’ Dan Allah membimbing
(untuk sebagian umat) kepada ilmu tentang al-haq, kemampuan beramal
dengannya dan persatuan, sehingga mereka merasakan kedamaian sejak dini
yang kemudian teriringi dengan pertolongan dan taufiq dari Allah I.
Adapun yang lainnya adalah umat yang terhinakan dan
berjalan dengan diri mereka sendiri.” (Taisirul Karimir Rahman fi
Tafsiri Kalamil Mannan hal. 348)
Ibnu Katsir t berkata: “Orang-orang yang dirahmati adalah para pengikut
para rasul yang selalu berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan
agama dan diperintahkan para rasul.” (Tafsir Ibnu Katsir: 481)
Qatadah t berkata: “Orang-orang yang dirahmati Allah adalah Ahlul
Jama’ah walaupun negeri dan keberadaan mereka berjauhan, sedangkan
pelaku kemaksiatan kepada Allah adalah Ahlul Furqah, walaupun negeri dan
keberadaan mereka bersatu.” (Tafsir Ibnu Katsir: 482)
Diriwayatkan dari Mu’awiyah t bahwa Rasulullah r bersabda yang artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah terpecah
belah menjadi 72 firqah dan sungguh akan terpecah umat ini menjadi 73
firqah.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 4/102, Abu
Dawud dalam As-Sunnah Bab Syarhus Sunnah no. 4597 dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 204)
Rasulullah r bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah meridhai bagi kalian tiga (perkara) dan membenci
bagi kalian tiga perkara: Meridhai bagi kalian untuk hanya beribadah
kepada-Nya, jangan kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan
kalian semua berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan
kalian berpecah belah…” (HR. Muslim Bab An-Nahyu ‘an Katsratil Masail
no. 1715)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Berpegang teguh dengan
tali Allah adalah berpegang dengan apa yang telah dibawa Rasulullah: Al
Qur`an, As Sunnah, dan yang mencakup semua bimbingan Rasulullah r berupa
perkara akidah, ibadah, akhlak, muamalah.
Tidak boleh bagi seorang muslim baik secara pribadi ataupun
golongan/masyarakat muslimin, atau suatu negeri muslim dari rakyat dan
pemerintah, untuk keluar dari perkara ushuluddin atau furu’-nya. Akan
tetapi wajib bagi umat untuk beriman dan berpegang teguh
secara menyeluruh dengan apa yang telah dibawa oleh penutup para nabi
dan pemimpin para rasul, serta selalu mendahulukan bimbingan (ajaran
nabi) dari semua ucapan dan bimbingan yang lainnya.” (Mudzakkiratul
Hadits An-Nabawi hal. 39)
Tunduk dan taat di atas al-haq merupakan landasan persatuan yang hakiki. Allah I berfirman yang artinya:
“Dan patuhlah kalian semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah
kalian berselisih sehingga kalian akan melemah dan pudar kekuatan kalian
dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang
sabar.” (Al-Anfal: 46)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Agama (Islam) adalah satu, yaitu
apa yang telah dibawa oleh Rasulullah r. Tidak bisa dipecah menjadi
beberapa sekte atau madzhab. Bahkan agama (kebenaran) adalah satu dan
datang dari Allah, yang telah dibawa oleh Rasulullah
r dan apa yang beliau tinggalkan kepada umatnya. Yaitu beliau tinggalkan
umatnya di atas kemurnian (kejelasan). Malamnya seperti siangnya, tidak
ada yang menyeleweng darinya kecuali akan binasa.” (Lamhah ‘Anil Firaq
Ad-Dhallah hal. 10)
Abul Qasim Al-Ashbahani berkata: “Allah telah memerintahkan kepada
kalian untuk menjadi orang yang mengikuti (taat), mendengar, dan patuh.
Seandainya umat dibebaskan dengan akalnya, qias, dan hawa nafsunya dalam
memahami tauhid dan mencari keimanan, sungguh
mereka akan sesat.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal. 141)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Sungguh jelas bahwa sebab
persatuan dan keutuhan adalah mengumpulkan (menerima) semua bagian agama
dan mengamalkanya secara keseluruhan. Hal itu merupakan bentuk ibadah
kepada Allah yang Esa tidak ada sekutu baginya,
yang diwujudkan secara lahir dan batin sebagaimana yang telah
diperintahkan. Dan faedah dari berjamaah adalah tercurahkannya rahmat
Allah, keridhaan-Nya, keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, muka
yang putih/cemerlang. Adapun buah dari perpecahan adalah
adzab Allah, laknat, muka yang hitam dan berlepasdirinya Rasulullah r
darinya.” (Majmu’ Fatawa, 1/17)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Berpegang teguh dengan Kitabullah
sesuai dengan apa yang Allah inginkan (bisa) terealisasikan dalam tiga
perkara:
1. Menerima ayat-ayat Al Qur`an Al-Karim dan hadits-hadits Rasulullah r
yang shahih dengan penuh kejujuran secara lahir dan batin tanpa ada
keraguan sedikitpun dalam menerima perkara itu. Sikap penerimaan ini
harus tegak di atas keyakinan yang kokoh bahwa Al
Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci terjaga dengan penjagaan dari
Yang Maha mengetahui perkara ghaib. Allah I berfirman yang artinya:
“Sungguh telah Kami turunkan Ad-Dzikr dan sungguh Kami akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
2. Memahami Al Qur`an dan As Sunnah di atas pemahaman para shahabat dan
siapa saja yang selalu mengikuti mereka dengan baik. Sungguh tidak ada
keselamatan dari penyelewengan/ kesesatan dalam memahami Al Qur`an dan
As Sunnah kecuali dengan cara ini. Kebanyakan
firqah-firqah yang menyeleweng dari jalan Allah disebabkan tidak adanya
penyandaran kepada pemahaman para Salafush Shalih. Dan Ahlus Sunnah
adalah umat yang paling bahagia dengan pemahaman para shahabat dan yang
mengikuti mereka dengan baik.
3. Beramal dengan Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci secara lahir
dan batin sebagaimana yang telah diamalkan para shahabat dan yang
mengikuti mereka dengan baik. (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal.
21-22)
Berjamaah dengan generasi pertama merupakan dasar persatuan yang hakiki
karena para shahabat merupakan pemimpin dalam beragama bagi umat
setelahnya. ‘Abbad bin ‘Abbad t berkata: “Al Qur`an adalah imam
Rasulullah r, dan Rasulullah adalah pemimpin bagi para shahabatnya,
dan shahabat-shahabat beliau adalah pemimpin bagi umat setelahnya.” (Min
Washaya Salaf hal. 28).
‘Umar bin Abdul ‘Aziz t berkata: “Sungguh Rasulullah r dan para
shahabatnya telah memberikan bimbingan. Barangsiapa yang mengambilnya
maka hal itu adalah suatu sikap membenarkan Kitabullah, penyempurnaan
ketaatan, dan sebuah ketegaran dalam beragama. Barangsiapa
mengambil petunjuk dengannya, sungguh dia akan terbimbing. Dan
barangsiapa menolongnya, maka dia akan ditolong. Siapa yang
menyelisihinya serta mengikuti selain dari jalan orang-orang yang
beriman (para shahabat) maka Allah I akan palingkan dia sebagaimana
dia telah berpaling dan akan masukkan dia ke jahannam sebagai tempat
kembali yang paling jelek.” (Min Washaya Salaf hal. 84-85)
Allah I berfirman yang artinya:
“Dan barangsiapa menentang Ar-Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan
mengikuti selain jalan orang-orang mukminin niscaya dia Kami palingkan
sebagaimana dia telah berpaling dan akan Kami masukkan dia ke neraka
jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.”
(An-Nisa`: 115)
Abu Muhammad Abdullah bin Abi Zaid Al-Qairuwani berkata: “Bimbingan As
Sunnah harus diterima tanpa membenturkannya dengan pikiran (akal) atau
melawannya dengan qiyas. Kita harus menafsirkan dengan apa yang telah
ditafsirkan para Salafush Shalih, beramal dengan
apa yang telah mereka amalkan, meninggalkan apa yang telah
ditinggalkannya, dan menahan diri dari apa yang mereka diam, mengikuti
mereka pada apa yang telah mereka terangkan, menjadikan mereka sebagai
qudwah dalam pemahaman dari apa yang telah mereka alami,
dan kita tidak keluar dari jamaah mereka dalam perselisihan atau
penafsiran.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 87)
Ibnu Abi Zamanin berkata: “Sesungguhnya As Sunnah adalah penjelas Al
Quran dan As Sunnah tidak dapat diraih sekedar dengan qiyas dan akal,
akan tetapi diraih dengan ittiba’ (meneladani) kepada para imam dan apa
yang sebagian besar dari umat ini telah berjalan
di atasnya. Allah U telah menyebut dan memuji segolongan umat dengan
firman-Nya:
“Berilah kabar gembira para hamba-Ku yang mendengarkan suatu ucapan
kemudian mengikuti apa yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang
telah diberi petunjuk Allah dan mereka adalah orang-orang yang memiliki
akal.” (Az-Zumar: 18)
Dan Allah I memerintahkan hambanya dengan firman-Nya yang artinya:
“Ini merupakan jalan-Ku yang lurus maka ikutlah dan janganlah kalian
mengikuti berbagai jalan, niscaya kalian akan berpecah dari jalan-Nya,
hal itu merupakan wasiat bagi kalian semoga kalian bertaqwa.” (Al-An’am:
153) (Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin
hal. 35)
Al-Imam Al-Ashbahani berkata saat menerangkan posisi shahabat dalam
berjamaah (bersatu): “Barangsiapa menyelisihi para shahabat Rasulullah
dalam suatu perkara agama maka sungguh dia akan sesat.” (Al-Hujjah fi
Bayanil Mahajjah, 2/440)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Asas ditegakkannya jamaah adalah para
shahabat Nabi Muhammad -semoga Allah merahmati mereka semua- dan mereka
adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka barangsiapa yang tidak mengambil
dari mereka maka sungguh telah sesat dan berbuat
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan dan
pelakunya tempatnya adalah neraka.” (Syarhus Sunnah hal. 68)
Berjamaah dengan pemahaman para shahabat merupakan asas persatuan yang
harus dijaga. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sesungguhnya Ahlus
Sunnah merasakan kedamaian yang sejuk di hati mereka, hal ini disebabkan
jelas dan kokohnya kebenaran di dalam hati
mereka. Karena sesungguhnya lafadz As Sunnah memberikan makna keharusan
beramal dengan apa yang telah dibawa Rasulullah r yaitu Al Qur`an dan As
Sunnah. Adapun lafadz al-jamaah maknanya adalah bersatu di atas al-haq,
mengamalkannya dan berjalan di atas jejak
salaf.” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 12)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alusy-Syaikh berkata: “Merupakan suatu
kewajiban untuk kita berpegang teguh dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
berpegang dengan ucapan-ucapan mereka, tidak keluar dari landasan,
ketentuan, dan dari apa-apa yang telah ditetapkan
dari para ulama, karena mereka mengetahui landasan-landasan Ahlus Sunnah
wal Jamaah, dalil-dalil syariah yang tidak diketahui kebanyakan dari
umat manusia bahkan juga mereka yang menisbatkan dirinya sebagai ulama.
Hal ini dikarenakan mantapnya ilmu mereka,
sisi pandang yang tepat, dan kokoh di atas ilmu.” (Adh-Dhawabith
Asy-Syar’iyyah Limauqifil Muslim Minal Fitan hal. 27)
Rasulullah rbahkan berwasiat untuk memegangi petunjuk para shahabat:
“Hendaknya kalian pegangi sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin,
gigitlah dia dengan gigi gerahammu dan hati-hati kalian dari perkara
yang diada-adakan. Sungguh setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad,
4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607,
Ibnu Majah no. 34)
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Yang dimaksud dengan
Al-Khulafa` Ar-Rasyidin adalah mereka yang mewarisi ilmu yang bermanfaat
dan amalan yang baik. Dan umat yang paling berhak dengan sifat ini
adalah para shahabat yang Allah meridhai mereka.
Sungguh Allah telah memilih mereka untuk menyertai Nabi-Nya dalam
menegakkan agama. Dan tidaklah Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana memilih untuk menyertai Nabi-Nya kecuali umat yang paling
sempurna keimanannya, paling benar akalnya, paling lurus
amalannya, paling kuat tekadnya, paling lurus jalan mereka. Sungguh
mereka adalah umat yang paling berhak untuk diikuti setelah Nabi dan
juga para imam yang mengetahui petunjuk dan kebaikan.” (Fathur Rabbil
Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah hal. 8)
Menjauh dari pemahaman para shahabat merupakan tindakan memecah
persatuan sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Al-Barbahari: “Ketahuilah
semoga Allah merahmatimu! Sesungguhnya tidak sempurna Islam seseorang
sehingga dia menjadi orang yang muttabi’ (meneladani),
membenarkan, menyerahkan/ yakin. Maka barangsiapa menganggap bahwa masih
ada urusan agama yang tidak disampaikan para shahabat Rasulullah kepada
kita, sungguh dia telah menuduh mereka dengan kedustaan. Dan cukup apa
yang dia lakukan sebagai suatu sikap memisahkan
diri dan menikam mereka, maka dia telah berbuat bid’ah, sesat,
menyesatkan, membikin suatu perkara yang baru dalam agama yang bukan
darinya.” (Syarhus Sunnah hal. 70)
Persatuan yang dilandasi dengan kesatuan akidah, manhaj, akhlak serta
kemurnian syariah merupakan rahmat Allah. Adapun perpecahan adalah
adzab. Rasulullah r bersabda, yang artinya:
“Wajib bagi kalian berjamaah dan hati-hati dari perpecahan. Sesungguhnya
setan bersama orang yang menyendiri dan dia akan lebih jauh apabila
(kalian) berdua.” (HR. Ahmad, 1/18, At-Tirmidzi no. 2165, An-Nasa`i
dalam Sunanul Kubra no. 9219. Dishahihkan oleh At-Tirmidzi,
Al-Hakim, dan Asy-Syaikh Ahmad Syakir (dinukil dari Al-Wardul Maqthuf,
hal. 142), ed)
Dari Ibnu ‘Abbas c, Rasulullah r bersabda:
“Tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2127, dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 40 (diambil dari
Al-Wardul Maqthuf, hal. 142), ed)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Rasulullah r memerintahkan kita
untuk bersatu di atas Al Kitab dan As Sunnah serta melarang kita dari
perpecahan dan perselisihan. Karena dalam persatuan di atas Al Kitab dan
As Sunnah terdapat kebaikan yang akan didapatkan
baik sekarang atau di masa yang akan datang, dan di dalam perpecahan
terdapat kerusakan baik sekarang atau di masa yang akan datang.
Hal ini membutuhkan perhatian yang besar karena dengan berjalannya
waktu, perpecahan, seruan-seruan, sempalan-sempalan sesat,
madzhab-madzhab, jamaah-jamaah yang saling berpecah belah akan semakin
banyak. Sehingga wajib atas seorang muslim untuk hati-hati.
Apa yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah harus diambil
dari yang menyerukan, siapun dia karena al-haq merupakan sesuatu yang
dicari seorang mukmin.
Adapun yang menyelisihi apa yang ada dari Rasulullah r maka tinggalkan
dia walaupun itu ada pada jamaahnya atau berada pada orang yang
berloyalitas kepadanya, selama dia menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah.
Karena tentunya manusia menginginkan keselamatan dan
tidak menginginkan kebinasaan dan kehancuran untuk dirinya. Tidak perlu
dalam masalah seperti ini untuk berbasa-basi, karena permasalahannya
adalah antara jannah (surga) dan an-naar.
Manusia tidak perlu berbasa-basi, bersikap fanatik, dan membela hawa
nafsu dalam menghadapi selain Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena hal itu
akan bermudharat terhadap dirinya bahkan akan mengeluarkannya dari jalan
keselamatan menuju jalan kebinasaan. Tidak akan
berbahaya bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah siapa saja yang menyelisihinya,
baik saat engkau bersama mereka atau saat engkau menyelisihinya. Saat
mereka bisa bersamamu maka segala puji bagi Allah, niscaya mereka akan
bersuka cita dengannya, berarti mereka menginginkan
kebaikan untuk umat manusia. Tetapi saat engkau menyelisihinya sungguh
engkau tidak berbuat jahat kepadanya mereka. Oleh sebab itu Rasulullah r
bersabda yang artinya:
“Terus akan ada segolongan dari umatku yang selalu menang di atas
kebenaran, tidak bermudharat bagi mereka orang-orang yang ingin
menghinakannya, hingga datang ketentuan dari Allah maka mereka tetap
seperti itu.” (HR. Muslim no. 1920, Abu Dawud no. 4252, Ahmad,
5/109)
Sungguh seorang yang menyelisihi (kebenaran) hanya berakibat kebinasaan
terhadap diri sendiri. Dan bukanlah kebenaran diukur dari banyaknya
orang, namun diukur dari kecocokan terhadap al-haq, walaupun yang berada
di atasnya hanya segelintir orang. Bahkan walaupun
di suatu masa tidak ada umat manusia yang mengikutinya kecuali satu
orang, maka tetap dia dikatakan di atas al-haq dan dia berjamaah.”
(Lamhah ‘Anil Firaq Adh-Dhallah hal. 24-25)
Hal ini sebagaimana yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud: “Al-Jamaah adalah
yang mencocoki al-haq walaupun engkau sendiri.” (Ighatsatul Lahfan,
1/70)
Menjaga persatuan dalam semua aspek kehidupan dengan batasan dan
ketentuan Al Qur`an dan As Sunnah yang dibangun di atas pemahaman salaf
merupakan kewajiban bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan hal ini
terwujudkan dengan:
1. Membangun persatuan dengan hanya mengharap wajah Allah I . Allah I berfirman yang artinya:
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya memurnikan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
2. Memegangi tali Allah I . Allah I berfirman yang artinya:
“Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Rasulullah r bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang berat pada
kalian, salah satunya Kitabullah U dan dia adalah tali Allah.
Barangsiapa mengikutinya dia berada di atas hidayah dan barangsiapa yang
meninggalkannya ia di atas kesesatan.” (Lihat Ash-Shahihah
no. 2024 dan Shahihul Jami’ no. 4472)
3. Mengusung dan membela pemahaman para shahabat.
Ibnu Mas’ud t berkata: “Barangsiapa ingin mengambil uswah maka hendaknya
mengambil uswah dari para shahabat Rasulullah r. Mereka adalah umat
yang paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, tidak suka membebani
diri, mendapatkan petunjuk yang paling lurus,
dan memiliki kondisi yang paling mulia. Suatu kaum yang telah Allah
pilih untuk menyertai Nabi-Nya, dan menegakkan agamanya. Ketahuilah
kemuliaan mereka dan ikuti jalan-jalan mereka. Sungguh mereka berada di
atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa
Fadhlihi, 2/97)
4. Membela dan menjaga kehormatan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah I berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)
“Bertanyalah kalian kepada ahludz-dzikr apabila kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
“Katakanlah: apakah sama antara mereka yang berilmu dan mereka yang tidak berilmu?” (Az-Zumar: 9)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan
atsar-atsar dan para ulamanya. Bertanyalah kepada mereka dan duduklah
bersama mereka, serta raih ilmu dari mereka.” (Syarhus Sunnah hal. 111)
Beliau juga berkata: “Takutlah kepada Allah! Takutlah kepada Allah dalam
dirimu! Hendaknya kamu berpegang dengan atsar dan dan para ulamanya,
hendaknya kalian mengikuti. Sesungguhnya agama itu dengan mengikuti
(ittiba’).” (Syarhus Sunnah hal. 128)
Salamah bin Sa’id berkata: “Para ulama adalah lentera yang dengannya
umat akan mencari secercah cahaya.” (Sallus Suyuf wal Asinnah hal. 68)
5. Menjaga jama’atul muslimin dan imam mereka. Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa menginginkan bagian tengah dari jannah maka hendaknya ia berpegang dengan jamaah.” (HR. Ahmad, 1/18)
6. Berkumpul di bawah satu amir (pemimpin). Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa taat kepadaku sungguh dia telah taat kepada Allah dan
barangsiapa bermaksiat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat kepada
Allah. Dan barangsiapa patuh kepada amir sungguh dia telah patuh
kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir maka sungguh
dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR Muslim,Syarah Shahih Muslim, 12/223)
Rasulullah r bersabda:
“Penguasa adalah naungan Allah di bumi, barangsiapa memuliakannya maka
sungguh dia telah memuliakan Allah dan barang siapa menghinakannya maka
sungguh Allah akan menghinakannya.” (Hasan, HR Ibnu Abi Ashim lihat
Silsilah Ash-Shahihah, 5/376)
Adapun ketaatan kita tentunya dalam perkara yang baik. Rasulullah r bersabda:
“Mendengar dan patuh merupakan kewajiban baik dalam perkara yang disukai
atau dibenci, selama tidak diperintahkan dalam kemaksiatan dan apabila
diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak didengarkan dan jangan
dipatuhi.” (Fathul Bari, 13/121)
Umat dahulu selalu terpecah, karena sikap dan perilaku mereka yang
menjauh dari ittiba’ (tunduk untuk meneladani). Berikut ini beberapa
sebab perpecahan yang harus dijauhkan dalam kehidupan Muslimin:
1. Mengikuti hawa nafsu.
Mengikuti hawa nafsu merupakan sumber bencana yang akan menyeret dalam berbagai noda kehidupan. Allah I berfirman yang artinya:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya menjadi
sesembahan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup di
atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan
memberikannya petunjuk sesudah Allah, tidakkah kalian mengingat.”
(Al-Jatsiyah: 23)
Ikrimah t berkata: “(Makna ayat ini adalah) menyembah apa yang
diinginkan hawa nafsunya atau yang dianggap baik. Apabila dia sudah
menganggap baik (hawa nafsunya, ed.) maka sungguh dia telah mengambil
sebagai sesembahan.” (Fathul Qadir, 5/11)
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (Al-Qashash: 50)
“Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
Rasulullah rbahkan berlindung dari kemungkaran hawa nafsu:
“Ya Allah, jauhkan kami dari kemungkaran akhlak, hawa nafsu, dan penyakit.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim: 12)
Ibnu ‘Abbas c berkata: “Setiap hawa nafsu adalah sesat.” (Syarhu Ushulil I’tiqad, 1/130 karya Al-Lalikai)
Abul ‘Aliyah berkata: “Aku tidak tahu mana anugrah yang lebih besar
bagiku, apakah saat aku dibimbing Allah dari kesyirikan menuju Islam
ataukah ketika Allah menjaga keislamanku dari berbagai hawa nafsu?”
(Syarhu Ushulil I’tiqad, 1/131 karya Al-Lalikai)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Semua hawa nafsu adalah jelek dan akan
menyeru kepada pemberontakan.” (Syarhus Sunnah no. 135 hal. 122)
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Mengikuti hawa nafsu adalah sikap menyeleweng dari Shirathil Mustaqim.” (Al-I’tisham: 401)
2. Kebodohan/ jahil dalam memahami kandungan makna Al Qur`an, As Sunnah,
atsar-atsar para shahabat, atsar tabi’in, dan atsar para ulama Ahlus
Sunnah yang diikuti tanpa difahaminya kaidah-kaidah fiqhiyyah yang akan
menyempurnakan ilmu mereka. Juga minimnya ilmu
ushul fiqih, al-’amm, al-khash, al-muthlaq, al-muqayyad, an-nasikh wal
mansukh, al-manthuq, al-mafhum, asbaabun nuzul, dll. (Sallus Suyuf hal.
111)
Perkara ini akan menjebak mereka sehingga terjatuh dalam berbagai
pemahaman yang batil, bahkan membangun keyakinan di atas prasangka
(dugaan).
Allah I berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya dia (setan) menyuruh kalian berbuat jelek dan keji, dan
kalian berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu.” (Al-Baqarah: 169)
“Dan janganlah kamu berkata dengan tanpa ilmu.” (Al-Isra: 36)
Al-Imam Al-Auza’i t berkata: “Ilmu adalah apa yang telah datang dari
shahabat-shahabat Nabi Muhammad r. Dan sesuatu yang tidak datang dari
mereka bukan dinamakan ilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 1/29)
Sungguh suatu pribadi yang mulia dan sikap kehati-hatian yang tinggi saat Rasulullah r berkata:
“Sesungguhnya aku adalah manusia, apabila aku perintahkan kalian dengan
sesuatu perkara agama maka ambillah. Dan apabila aku perintahkan kalian
dengan sesuatu yang itu adalah hasil pikiranku maka ketahuilah bahwa aku
adalah manusia.” ( Shahih, HR. Muslim no.
2326 dalam Kitab Al-Fadha`il)
‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Hati-hati kalian dari ashhabur ra`yi
(pengagum akal). Sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As Sunnah.
Mereka tidak mampu/lemah untuk menghafal hadits-hadits, sehingga mereka
berkata dengan akal. Sesatlah mereka dan menyesatkan.”
(Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin hal. 25 dan Al-Lalikai dalam
Syarh Ushululil I’tiqad, 1/123)
Ibnu Mas’ud z berkata: “Telah pergi (hilang) para pembaca dan ulama
kalian, sehingga manusia mengambil para pemimpin bodoh, yang hanya
mengiyakan suatu perkara dengan akal.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih,
2/136)
Abu Bakr bin Abi Dawud berkata: “Tinggalkan oleh kalian
pendapat-pendapat dan ucapan-ucapan orang, sungguh ucapan Rasulullah r
lebih suci dan lebih jelas.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/135)
Ibnul Mubarak ditanya: “Kapan seseorang boleh berfatwa?” Beliau
menjawab: “Ketika dia berilmu tentang atsar dan berakal dengan baik.”
(Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/47)
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Semua perkara yang telah Allah tegakkan
sebagai Hujjah di dalam Al-Kitab (Al-Quran) atau yang melalui lisan
Nabi-Nya merupakan suatu nash yang jelas tidak boleh bagi orang yang
telah berilmu untuk menyelisihinya.” (Ar-Risalah hal.
560)
Muhammad bin Salamah berkata: “Tidak boleh bagi seseorang yang tidak
berilmu tentang Al-Quran, As-Sunnah, dan apa yang telah dilakukan oleh
generasi yang dahulu dari ulil amr (Ulama Salaf) untuk berijtihad dengan
akalnya, sehingga mengakibatkan ijtihadnya menyelisihi
Al-Quran dan As-Sunnah serta apa yang telah di sepakati.” (Jami’ Bayanil
Ilm wa Fadhlih, 2/73)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu!
Sungguh siapa yang berkata dalam agama Allah dengan akal, qiyas dan
takwil tanpa menyertakan hujjah dari As Sunnah dan Al-Jamaah (bimbingan
shahabat) maka sungguh dia telah berkata atas nama
Allah tanpa ilmu dan barangsiapa yang berkata atas nama Allah tanpa
ilmu, maka sungguh dia termasuk orang yang membebani diri.” (Syarhus
Sunnah, hal. 105)
Tegar di atas ilmu yang benar serta membangun kewaspadaan dalam beramal adalah pondasi persatuan yang kokoh.
Allah U berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Ibnu Katsir t berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Akan ditimpakan
dalam hati mereka kekufuran, kemunafikan, atau kebid’ahan.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 3/373)
Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata: “(Maknanya adalah) kesyirikan dan kejelekan.” (Taisirul Karimir Rahman hal. 525)
Kebodohan terhadap dasar-dasar ilmu (ushulul ‘ilm) merupakan bencana
yang akan mencabik-cabik persatuan yang hakiki dan ahlul bid’ah
merupakan benalu yang meracuni persatuan.
Ibnu Baththah berkata: “Semoga Allah menyelamatkan kami dan kalian
semuanya dari pemikiran-pemikiran yang muncul dari hawa nafsu yang
selalu mengekor dan madzhab-mazdhab yang bid’ah. Sungguh pelakunya telah
keluar dari persatuan menuju percerai-beraian, dari
suatu kestabilan menuju perpecahan, dari kedamaian menuju ketakutan,
dari kesepakatan menuju perselisihan, dari cinta menjadi kebencian, dari
keikhlasan nasehat dan loyalitas menjadi kecurangan dan permusuhan. Dan
semoga kami dan kita semua dilindungi dari
berloyalitas terhadap segala bentuk nama/gerakan yang menyelisihi Islam
dan As Sunnah.” (Sallus Suyuf hal. 25 karya Tsaqil bin Shalfiq)
3.Mengikuti suatu yang mutasyabih (samar)
Allah I berfirman:
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (Ali ‘Imran: 7)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata: “Adapun orang-orang yang di hatinya ada
penyakit, penyimpangan, penyelewengan yang dikarenakan jeleknya tujuan,
maka mereka mengikuti suatu yang mutasyabih darinya (Al Qur`an) kemudian
menjadikannya dalil atas ucapan mereka yang
batil dan pemikirannya yang hina, dalam rangka mencari fitnah dan
menyelewengkan pemahaman terhadap Kitab-Nya, serta mentakwilkannya
sesuai dengan aliran dan madzhab mereka yang batil sehingga mereka sesat
dan menyesatkan. Adapun para ulama yang kokoh (ilmunya)
terhadap Al Qur`an, yang ilmu dan keyakinan menancap di dada mereka
sehingga melahirkan baginya suatu amalan dan berbagai pengetahuan.
Mereka mengetahui bahwa Al Qur`an semuanya datang dari Allah, semuanya
haq, baik yang muhkam atau yang mutasyabih. Dan suatu
yang haq tidak akan bertentangan. Ketika mereka mengetahui dan memahami
makna al-muhkam dengan sebenar-benarnya sehingga mereka mampu
mengembalikan suatu yang samar kepadanya (al-muhkam), yang sebelumnya
merupakan suatu yang rumit dikarenakan kurangnya ilmu
dan kurangnya pengetahuan. Saat mereka mengembalikan suatu yang
mutasyabih kepada al-muhkam, maka semuanya menjadi al-muhkam.” (Taisirul
Karimir Rahman, hal. 101-102)
Kaum pengekor hawa nafsu selalu mencari sesuatu yang samar atau belum
jelas, sebagai pijakan untuk memperkuat kebatilan. Sehingga persatuan
yang mereka bangun bagai merajut benang dalam kegelapan. Terperosoknya
orang-orang Khawarij disebabkan mereka mengambil
suatu keyakinan dari sesuatu yang belum jelas bagi mereka.
Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Yang menjelaskan perkara ini adalah,
apa yang telah diriwayatkan Ibnu Wahb dari Bukair, sesungguhnya dia
telah bertanya kepada Nafi’ bagaimana pendapat Ibnu ‘Umar tentang
Haruriyah (Khawarij)? Beliau berkata: Ia memandang mereka
sebagai orang yang terjelek di antara makhluk Allah. Mereka mengambil
ayat-ayat yang diturunkan kepada orang-orang kafir dan diarahkan kepada
orang-orang yang beriman. Sa’id bin Jubair menerangkan perkara ini
dengan berkata: Haruriyah mengikuti sesuatu yang
mutasyabih dari firman Allah: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa-apa yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang
kafir” dan digandengkan dengan: “Kemudian orang-orang yang kufur
menyeleweng dari Rabb mereka.” Apabila mereka melihat pemimpin
yang tidak berhukum dengan al-haq, mereka berkata: ‘Telah kufur, telah
kufur, menyeleweng dari Rabbnya, dan barang siapa yang menyeleweng dari
Rabbnya sungguh dia telah musyrik, maka mereka orang-orang musyrik telah
keluar dari umat (Islam).’ Mereka perangi
siapa saja yang menyelisihinya, dengan mentakwilkan ayat ini.”
(Al-I’tisham hal. 707)
4. Ta’ashshub dan Hizbiyyah
Sebuah loyalitas mutlak hanya untuk al-haq. Allah U berfirman yang artinya:
“Katakanlah, inilah jalan agamaku. Aku dan orang yang mengikutiku
mengajak kamu kepada Allah dengan bashirah (ilmu) maha suci Allah dan
aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Ahlus Sunnah akan selalu berupaya komitmen terhadap al-haq yang telah
diserukan Rasulullah r dan diamalkan para shahabatnya. Adapun seruan
hizbiyah yang menggaung di tengah-tengah umat saat ini dengan mengajak
kepada golongan, kelompok, partai, dan menjauh
dari bimbingan serta manhaj salaf, maka hakekatnya mereka adalah penyeru
kepada perpepecahan dan perselisihan. Kita bisa melihat bagaimana NII,
Ikhwanul Muslimin, Jama’atut-Tabligh, Jama’atut-Takfir wal Hijrah, Islam
Jama’ah (LDII), JIL, Al-Qaeda dll, membingungkan
umat dengan berbagai konsep yang notabene adalah suatu kaum yang
mengajak bernafas dalam lumpur.
Allah U berfirman yang artinya:
“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang di
golongan mereka.” (Ar-Rum: 32)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Setiap
golongan akan berkelompok dan ber-ta’ashshub, untuk membela apa yang
dimiliki dari kebatilan, menggilas dan memerangi yang lain.” (Taisirul
Karimir Rahman hal. 590)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Seruan fanatisme
terhadap tokoh tertentu, merupakan perkara yang tertolak menurut syariat
Allah, walaupun diiringi dengan kalimat-kalimat yang mempersatukan
berbagai firqah tanpa melihat akidah dan manhaj,
bahkan tanpa mempedulikan bimbingan para ulama salaf. Ini merupakan
seruan hizbiyah yang jauh dari makna persatuan yang sebenarnya.
Sebagaimana terjadi pada Ikhwanul Muslimin, Asy-Syaikh Tsaqil bin
Shalfiq berkata: “Sungguh keberadaannya membawa perpecahan di antara
kaum muslimin, hizbiyah, permusuhan, pertentangan, fanatisme golongan,
serta mengikat tali loyalitas dengan fanatik pada golongan
(tak peduli) siapapun mereka baik seorang Asy’ari, Rafidhah, Sufi,
pengkultus kuburan, dan melepaskan ikatan tali loyalitas terhadap mereka
yang tidak bergabung dengan partainya walupun mereka adalah ulama
Sunni.” (Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Hawa wa
Ad’iyatus Sunnah hal. 120)
Beliau juga berkata: “Muncul di zaman ini jamaah-jamaah dan berbagai
golongan yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah dan dakwah di jalan
Allah seperti Ikhwanul Muslimin dan berbagai sempalannya seperti Jamaah
Takfir wal Hijrah, atau para pengikut Sayyid
Quthub yang dipelopori dalam mengibarkan panjinya oleh Muhammad Surur
Zainal Abidin yang meninggalkan negeri Islam dan “hijrah” ke negeri
kafir, negara gereja dan salibis serta merasa tenang menetap di sana
(Birmingham, Inggris). Kemudian dia meniupkan berbagai
konsep yang busuk dan memecah kekuatan kaum muslimin, menikam para
ulama, mengacau para hukkam (penguasa) dengan serial majalahnya yang
bernama As-Sunnah (menurut versi mereka) yang diikuti dengan mencetak
berbagai tulisan yang merendahkan karya para ulama
salaf, yang kemudian jejak dan langkah ini diikuti oleh segolongan orang
yang menyangka bahwa mereka adalah penuntut hak-hak yang syar’i bagi
kaum muslimin dan pembela dari berbagai kedzaliman. Yang seakan-akan
negara ini (Arab Saudi) tidak memiliki mahkamah-mahkamah
syar’iyyah dan ulama-ulama yang adil dan jujur!” (Sallus Suyuf wal
Asinnah, hal. 114)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi berkata: “Sebagian umat tidak memperdulikan
akidah dan manhaj Rasulullah r. Bahkan mereka menempuh prinsip dan
akidah lain yang hakikatnya adalah produk setan bagi orang yang Allah
hinakan dari seorang mubtadi’ dan penyesat.” (Al-Hatstsu
‘alal Wudd Wal I`tilaf wat Tahdzir Minal Furqah wal Ikhtilaf hal. 18)
Macam-macam Khilaf
Memahami macam-macam perselisihan merupakan lentera yang penting bagi
seorang Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak terjatuh dalam sikap yang
salah, baik dalam meletakkan loyalitas dan permusuhan, cinta karena
Allah dan benci karena Allah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Macam-macam khilaf yang masyhur ada tiga:
1. Ikhtilaf Tadhadh yaitu khilaf yang menabrak/ melawan nash-nash. Hal
ini sebagaimana yang terjadi pada firqah-firqah yang keluar dari Ahlus
Sunnah.
2. Ikhtilaf Tanawwu’: Ini merupakan bagian dari syariat.
3. Ikhtilaf Afham (beda pemahaman): Hal ini diperbolehkan selama mengikuti ketentuan/ batasan syariat, di antaranya:
1. Orang yang menyelisihi berada di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik dalam ilmu, ta’lim, dan amalan.
2. Tidak memperbanyak perbedaan dari sesuatu yang telah diamalkan Ahlus Sunnah.
3. Kembali (ruju’) kepada al-haq ketika telah jelas kesalahan-kesalahannya.
4. Termasuk golongan yang sudah memiliki keahlian dalam berijtihad.
Hendaknya ketentuan-ketentuan ini (berjalan) di bawah pengamatan para
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal.
79)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah mencontohkan ikhtilaf tanawwu’, di
antaranya adalah macam-macam qira`at (bacan-bacaan Al Qur`an),
sebagaimana yang telah terjadi terhadap para shahabat, sehingga
Rasulullah menegur mereka: “Kalian berdua adalah benar!” Juga
perbedaan dalam sifat adzan, sifat iqamah, doa istiftah, dll. (Syarah
Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/776)
Jenis khilaf yang kedua dan ketiga seharusnya dihadapi dengan dada yang
lapang, saling mengasihi dan memberikan nasehat karena Allah. Adapun
yang tercela adalah saat kita berbuat dzalim kepada setiap orang yang
berselisih (dalam kriteria 2-3) dengan kita, karena
hal ini akan meniup api dalam sekam. (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah,
2/779)
Apabila al-haq nampak dan jelas, tidak boleh bagi seorang muslim untuk
berselisih. Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan: Rasulullah r berkata saat beliau
dalam keadaan sakit yang menjadikan beliau wafat: “Berikan kepadaku
satu kitab, aku tuliskan untuk kalian suatu kitab
niscaya kalian tidak akan berselisih!” Maka terjadi perselisihan di
kalangan para shahabat, sehingga beliau berkata: “Pergilah kalian
dariku, sungguh tidak pantas berselisih di sisi Nabi.” (HR. Al-Bukhari,
1/181, Muslim,11/256)
Akibat dari perpecahan adalah:
1. Mengagungkan hawa nafsu.
2. Mewariskan permusuhan, perselisihan, pertentangan dan kebencian.
3. Menjauhkan mereka dari pondasi yang telah dibawa oleh Rasulullah r.
4. Membangun akidah, agama secara keseluruhan dengan akal.
5. Merendahkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah hal. 119)
Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya
kepada kita dan menyatukan kita dalam suatu keutuhan di atas Al Qur`an
dan As Sunnah dengan pemahaman para shahabat, dan semoga Allah satukan
kita di jannah-Nya. Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar